Beranda Artikel Kepeloporan AS dan Hari Internasional Anti Islamaphobia

Kepeloporan AS dan Hari Internasional Anti Islamaphobia

Prof. Dr. Hafid Abbas

Oleh : Hafid Abbas (Komisioner dan Ketua Komnas HAM RI 2012-2017, Presiden Global Alliance of National Human Rights Institution (GANHRI) di Asia Tenggara 2014-2015)

SUARA AJATAPPARENG — Dalam wawancaranya dengan wartawan CNN, Fareed Zakaria, pada 25 Oktober 2015, Tony Blair, Mantan Perdana Menteri Inggris, dengan amat terbuka mengungkapkan penyesalan dan permohonan maafnya atas invasi AS bersama sekutunya di Iraq.

Blair menyatakan: “saya menyampaikan permohonan maaf atas fakta bahwa kami telah menerima laporan intelegen yang salah atas tuduhan bahwa Iraq telah menggunakan senjata kimia secara ekstensif untuk menyerang penduduknya sendiri dan menyerang pihak lain. Dugaan kami itu ternyata tidak benar. Saya juga mohon maaf atas berbagai kesalahan dalam perencanaan, dan terutama atas kesalahan perkiraan kami atas apa yang akan terjadi setelah menjatuhkan rezim Saddam Hussein.”

Hal yang sama, Presiden Barack Obama lewat wawancaranya dengan Fox News (10/4/2016) juga mengungkapkan penyesalan dan permohonan maafnya kepada rakyat Libya. Ia menyatakan bahwa: “AS amat menyesal dan sebagai Presiden, inilah kesalahan terbesar (worse mistake) yang telah saya lakukan dalam masa pemerintahan saya, menyerang Libya dan menggulingkan Presiden Muammar Khadafi tanpa perencanaan yang tepat pasca penyerangan itu. Akibatnya Libya benar-benar kheos dan secara berlanjut masuk ke dalam ancaman kekerasan para ekstrimis.”

Pengakuan lain yang juga telah menyentakkan kesadaran masyarakat internasional yakni ketika Donald Trump pada pidato kampanyenya di Florida, 11 Agustus 2016, menyampaikan bahwa Obama dan Hillary, keduanya adalah pendidri Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS (The Guardian, 11/8/2016). Ini dilakukan untuk memecah belah dan mengadu domba dunia Islam.

Demikianlah beberapa realitas permainan Barat terhadap umat Islam. Dalam ulasan CNN, motif di balik realitas itu semua adalah kepentingan ekonomi. Iraq yang berpenduduk 33 juta (2016), namun menghasilkan 5,3 juta barel minyak setiap hari (2017) dan diperkirakan produksinya akan meningkat ke 8 juta barel sehari pada 2027 (Reuter, 10/8/2021). Sebelum invasi AS dan sekutunya ke Iraq, produksi minyaknya yang melimpah itu diatur sendiri oleh negaranya dengan tidak memperbolehkan ada kerjasama dengan perusahaan minyak AS dan Barat. Barulah setelah invasi, Presiden Bush menekan pemerintah Iraq untuk menyetujui pemberlakuan undang-undang yang memperbolehkan perusahaan minyak asing beroperasi di Iraq (CNN, 15/04/2013).

Bandingkan dengan keadaan Indonesia yang penduduknya berjumlah sekitar 272 juta jiwa, hanya menghasilkan sekitar 420 ribu barel per hari (Jakarta Globe, 11/12/2020).

Data ini, memperlihatkan secara jelas bahwa motif perang di Iraq, sesungguhnya, adalah untuk menguasai minyaknya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini