Oleh: Redaksi SUARA AJATAPPARENG
SUARA AJATAPPARENG – Ada masa ketika kita berbagi tawa, berjalan dalam derap langkah yang seirama, dan saling menopang di tengah derasnya tekanan kerja jurnalistik. Di balik deadline yang mencekik dan idealisme yang seringkali terkikis realita, aku dulu percaya bahwa kita melangkah bukan hanya sebagai kolega, tetapi sebagai teman, bahkan mungkin sahabat.
Namun hari ini, keyakinan itu runtuh. Aku belajar bahwa tidak semua orang yang berjalan bersamamu ingin melihatmu tiba di garis akhir. Beberapa hanya butuh jalan pintas, dan bila perlu—melewatimu dengan cara yang tak terduga.
Aku Anggap Sahabat, Ternyata Pengkhianat
Pengkhianatan bukan sekadar tindakan, ia adalah luka yang tak terlihat namun terasa dalam. Tidak mudah menyematkan label itu, apalagi pada seseorang yang dulu kuanggap saudara seperjuangan. Tapi ketika kepercayaan dijual demi keuntungan pribadi—demi status, pengaruh, atau bahkan uang—apakah ada sebutan lain yang lebih tepat?
Ia tak hanya mengambil ilmu dan pengalaman yang kubagi dengan ikhlas. Ia mengemasnya, menjualnya, lalu menyusunnya menjadi tangga untuk naik sendiri. Tanpa pernah menoleh ke belakang, tanpa pernah menyebut bahwa pernah ada tangan yang mendorongnya naik.
Lebih menyakitkan lagi, ia melangkah dengan menjatuhkan. Ia menciptakan narasi, menyebar opini, dan mengaburkan fakta. Di balik gelar “teman”, ternyata tersembunyi motif. Di balik jabatan baru yang dielu-elukan, ada integritas yang dikorbankan.
Persahabatan: Uang Bukan Penentu Nilainya
Pertemanan dan persahabatan sejati tidak bisa dihitung dengan rupiah. Ia tidak diukur dengan seberapa besar kita bisa memberi secara materi, melainkan seberapa besar kita bersedia hadir, mendengar, dan memperjuangkan.
Sayangnya, dalam dunia profesional yang kompetitif, nilai persahabatan seringkali digadaikan. Tekanan—baik dari luar maupun dalam diri—membuat banyak orang tergoda untuk memilih kepentingan sesaat. Lalu, muncul pertanyaan: apakah tekanan pekerjaan harus membunuh nilai-nilai persahabatan dan integritas?
Jawabannya: tidak. Tekanan justru seharusnya menguji, bukan menggugurkan nilai-nilai itu. Justru dalam tekananlah kita bisa melihat siapa yang tetap berdiri sebagai sahabat, dan siapa yang hanya berpura-pura hingga tiba saat yang tepat untuk pergi atau menusuk dari belakang.
Ketulusan Tak Selalu Dibalas Setimpal
Memberi dengan tulus memang tidak menjamin kita akan menerima hal yang sama. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti memberi. Dunia mungkin tidak adil, dan sering kali mereka yang jujur harus menelan pil pahit, sementara mereka yang licik berdiri di panggung sorotan.
Namun sejarah selalu mencatat. Waktu selalu memilah mana yang naik dengan kehormatan, dan mana yang naik dengan manipulasi.
Ketika kita berbicara soal loyalitas, integritas, dan persahabatan dalam kerja jurnalistik, yang dipertaruhkan bukan sekadar hubungan personal—tetapi nilai dasar dari profesi itu sendiri: kejujuran, kepercayaan, dan keberanian moral.
Mengikhlaskan, Bukan Menyesal
Aku memilih tidak menyimpan dendam. Luka ini akan kusimpan sebagai pelajaran, bukan sebagai beban. Bahwa tidak semua yang kita beri panggung, akan menghormatimu sebagai sutradara. Bahwa tidak semua yang kita ajak berjalan, ingin sampai ke tujuan yang sama.
Tapi dari pengalaman ini aku belajar: kepercayaan tidak boleh diberikan sembarangan. Dan ketulusan harus tetap dipelihara, meski dunia tak selalu membalasnya.
Aku akan terus melangkah. Dengan luka yang membentuk ketegasan, dengan kekecewaan yang mendewasakan, dan dengan prinsip yang tak akan aku jual, bahkan untuk segala kenyamanan duniawi.
Sebab pada akhirnya, yang tersisa bukan sekadar jabatan atau prestise. Yang bertahan adalah jejak yang ditinggalkan dalam hati orang lain dan catatan nurani sendiri. Dan itulah harga sejati dari sebuah persahabatan.(*AD)

















