PAREPARE, SUARA AJATAPPARENG -Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Parepare-Barru periode 2022–2025, Abdul Razak Arsyad, S.H., M.H., mengingatkan bahwa peringatan Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi harus menjadi momen penting bagi masyarakat Indonesia untuk merenungkan kembali nilai-nilai fundamental dalam ideologi bangsa ini.
“Dalam era serba digital seperti saat ini, tantangan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa semakin kompleks. Pancasila, dengan lima silanya, bukan hanya warisan sejarah, melainkan kompas moral yang harus ditanamkan dalam setiap interaksi sosial—termasuk di ruang digital,” ujar Abdul Razak di Parepare, Sabtu (1/6/2025).
Ia menekankan bahwa perayaan Hari Lahir Pancasila seyogianya menjadi ajang refleksi kolektif, bukan hanya pengibaran bendera atau pidato seremonial. Nilai persatuan, khususnya dalam sila ketiga, perlu ditransformasikan ke dalam ekosistem digital yang kini menjadi ruang utama interaksi warga bangsa.
“Ruang digital hari ini telah menjadi arena utama pembentukan opini publik. Sayangnya, di saat yang sama, kita menyaksikan bagaimana media sosial menjadi ladang subur bagi polarisasi, ujaran kebencian, dan hoaks yang menggerus rasa kebangsaan,” tambahnya.
Mengutip data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Abdul Razak menyebut bahwa lebih dari 215 juta penduduk Indonesia kini terhubung ke internet. Ini berarti, sebagian besar warga negara kini hidup di dalam dua dunia: dunia fisik dan dunia maya. “Jika dunia fisik kita jaga dengan hukum dan norma sosial, maka dunia digital pun harus kita rawat dengan nilai-nilai Pancasila,” tegasnya.
Dalam kapasitasnya sebagai pimpinan organisasi profesi kewartawanan, Abdul Razak juga menyoroti peran penting media dalam merawat persatuan nasional. “Media harus menjadi ruang yang sehat untuk dialog, bukan hanya wadah adu pendapat tanpa etika. Wartawan memikul tanggung jawab moral untuk menghadirkan narasi yang menyatukan, bukan yang memecah belah,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan tentang ancaman disinformasi lintas batas yang bisa digunakan oleh pihak luar untuk memengaruhi stabilitas nasional. Menurutnya, di tengah konstelasi global yang sarat kepentingan, menjaga narasi kebangsaan di ruang digital adalah bagian tak terpisahkan dari upaya memperkuat ketahanan nasional.
“Ketika kita menjaga ruang digital dari perpecahan dan memperkuat narasi kebinekaan, kita sesungguhnya sedang merawat kedaulatan bangsa di medan yang baru. Ini adalah bentuk nasionalisme kontemporer—bukan dengan senjata, tapi dengan kesadaran dan etika bermedia,” jelasnya.
Abdul Razak juga mengapresiasi inisiatif-inisiatif komunitas lokal yang mulai memproduksi konten edukatif berbahasa daerah untuk memperkuat identitas lokal sekaligus menjembatani nilai kebangsaan. Menurutnya, ini sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang perlu dihidupkan bukan hanya di ruang kelas, tetapi juga di lini masa media sosial.
“Mengajarkan Pancasila tidak cukup dengan hafalan. Kita butuh pendekatan kreatif yang relevan dengan keseharian generasi muda. Baik lewat film pendek, podcast, vlog, atau kampanye media sosial, nilai-nilai kebangsaan harus terus disuarakan agar tidak tenggelam dalam riuhnya algoritma yang sering kali memecah,” pungkas Abdul Razak. (*)