Oleh: Abdul Razak Arsyad, S.H., M.H. (Pimpred. Suarajatappareng.com)
SUARA AJATAPPARENG – Di Indonesia, profesi wartawan kerap disebut sebagai “pilar keempat demokrasi” setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Peran jurnalis tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kepentingan publik. Namun, jika kita menengok kebijakan negara, muncul pertanyaan penting: sudahkah jurnalis mendapat perlakuan dan fasilitas yang layak dari negara, sebagaimana profesi lain seperti pekerja transportasi online (ojol) yang kini mulai diperhatikan?
Ojol Mendapat Perhatian, Jurnalis Masih Dibiarkan
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memberi sejumlah fasilitas untuk pekerja transportasi online: regulasi tarif minimum agar tidak dieksploitasi, skema asuransi BPJS Ketenagakerjaan, hingga program subsidi. Langkah ini wajar, karena ojol menjadi bagian vital transportasi modern di kota-kota.
Namun, bandingkan dengan wartawan. Di lapangan, jurnalis menghadapi risiko tinggi: tekanan psikologis, kriminalisasi berita, bahkan kekerasan fisik saat meliput konflik. Meski begitu, fasilitas khusus dari negara hampir nihil. Tidak ada skema perlindungan asuransi yang terintegrasi, tidak ada jaminan kesejahteraan, bahkan status profesi wartawan pun kerap dipandang hanya sebatas “pekerja serabutan media”.
Apa yang Negara Berikan pada Jurnalis?
Secara formal, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini menjamin kemerdekaan pers dan memberikan payung hukum bagi jurnalis. Tetapi jika ditelisik lebih dalam, perlindungan yang diberikan negara lebih bersifat normatif ketimbang nyata.
Perlindungan hukum: Jurnalis tidak bisa dipidana karena menjalankan kerja jurnalistik yang sesuai kode etik. Namun, praktik di lapangan menunjukkan banyak wartawan tetap dikriminalisasi.
Dewan Pers: Berfungsi sebagai lembaga penegak etika, bukan pemberi fasilitas kesejahteraan.
Kesejahteraan: Tidak ada program khusus negara untuk meningkatkan taraf hidup wartawan, meskipun mereka bekerja untuk kepentingan publik.
Tantangan Kesejahteraan Jurnalis
Banyak wartawan di daerah hidup dengan penghasilan pas-pasan, bahkan ada yang bekerja tanpa gaji tetap hanya dengan mengandalkan “honor berita” per tulisan. Kondisi ini memprihatinkan karena membuka ruang kompromi terhadap integritas: wartawan terpaksa mencari pemasukan dari jalur lain yang bisa mengaburkan independensi.
Mengapa Negara Perlu Turun Tangan?
Jika ojol saja diatur demi keadilan ekonomi, jurnalis seharusnya lebih dulu mendapat perhatian karena fungsinya strategis dalam menjaga demokrasi. Negara sepatutnya:
- Menyediakan skema perlindungan khusus bagi wartawan, baik melalui asuransi kerja, BPJS khusus jurnalis, maupun dana darurat bagi jurnalis korban kekerasan.
- Mendorong standar kesejahteraan minimum bagi pekerja pers, termasuk di daerah.
- Memastikan implementasi hukum berjalan sehingga jurnalis tidak lagi menjadi korban kriminalisasi.
Penutup
Menjadi wartawan di Indonesia bukan sekadar profesi, melainkan panggilan untuk melayani kepentingan publik. Tetapi panggilan ini sering dibalas negara dengan abai. Perhatian pada ojol adalah kabar baik, namun ironis bila garda demokrasi seperti jurnalis tidak mendapat perlakuan yang sama.
Sudah saatnya negara menegaskan bahwa jurnalis bukan hanya pekerja informasi, melainkan aset bangsa yang harus dilindungi. Karena ketika jurnalis terjamin, publik pun akan lebih terlindungi dari kegelapan informasi.(*AD).