Beranda ADVERTORIAL PMI Dideportasi Pulang Tanpa Kepastian: Di Mana Peran Negara?

PMI Dideportasi Pulang Tanpa Kepastian: Di Mana Peran Negara?

Dr. M. Agus Bustaleb didampingi Ketua Satgas PMI LIDIK PRO Darwis K. Naik KM. Chatalya mengantar PMI, ingin melihat sendiri bagaimana peran pemerintah.

PAREPARE, SUARA AJATAPPARENG
Kisah pilu 40 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tiba di Pelabuhan Nusantara Parepare, Kamis (5/6/2025), menjadi potret buram bagaimana negara memperlakukan warganya yang kembali dari tanah rantau dalam kondisi terpuruk. Mereka bukan pelancong, bukan kriminal—melainkan pahlawan devisa yang terlunta-lunta di tanah sendiri.

Sebanyak 127 PMI dideportasi dari Tawau, Malaysia, dan dijadwalkan pulang ke Indonesia melalui KM Thalia. Namun, hanya 68 yang melanjutkan perjalanan ke Parepare. Ironisnya, dari jumlah itu, 28 orang turun di Nunukan karena alasan yang belum dijelaskan. Sisanya, 40 orang, akhirnya menginjakkan kaki di Parepare—tanpa sambutan, tanpa fasilitas, tanpa arah.

“Kami hanya bisa bantu semampunya. Saya bahkan gunakan mobil pribadi untuk antar mereka ke kantor,” ungkap Laode Nur Slamet, Koordinator Pos P4MI Parepare, menahan kecewa.

Dibiarkan Pulang Sendiri, Tanpa Negara di Samping Mereka.

Para PMI ini berasal dari berbagai penjuru Indonesia: dari Sulawesi Selatan seperti Bone, Enrekang, Pinrang, hingga Sinjai; dari Sulawesi Barat seperti Polewali Mandar dan Majene; bahkan dari NTB dan NTT. Namun setibanya mereka di Parepare, tak ada perwakilan pemerintah daerah yang hadir. Tak ada moda transportasi, apalagi bantuan psikososial.

Satu di antara mereka, Darma, seorang perempuan dari Polewali Mandar, menceritakan pengalaman pahitnya: ditangkap karena tidak memiliki dokumen resmi dan melahirkan di dalam tahanan Malaysia. Hari itu, ia bisa pulang hanya karena dijemput keluarganya—yang beruntung bisa mengetahui jadwal kepulangan. Banyak yang lain harus bertahan dengan ketidakpastian.

Negara Absen, Pemerintah Daerah Bungkam.

Minimnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap pemulangan PMI dideportasi ini bukan hanya soal teknis, tapi soal komitmen. Saat efisiensi anggaran dijadikan alasan, siapa yang memikirkan nasib para mantan buruh migran ini? Apakah mereka hanya dihitung saat menyumbang devisa, namun dilupakan saat terluka dan pulang dalam keadaan kosong?

“Mereka bukan hanya angka. Mereka adalah warga yang layak dibantu. Sayangnya, pemerintah daerah seakan tutup mata,” tegas Dr. Mohammad Agus Bustaleb, Staf Ahli Kementerian P2MI.

Agus bahkan menyayangkan Parepare belum memiliki Rumah Singgah PMI, padahal kota ini menjadi titik debarkasi utama di kawasan Ajatappareng. Ia mendorong agar kepala daerah segera mengalokasikan anggaran yang berpihak pada kemanusiaan.

Perlu Kebijakan yang Lebih Nyata dan Terintegrasi.

Situasi ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan kebijakan yang berkeadilan dan berpihak pada rakyat kecil. Koordinasi lintas instansi, dukungan logistik, dan program reintegrasi sosial harus menjadi prioritas. Tak cukup sekadar menggugurkan kewajiban administratif. Para PMI butuh kehadiran nyata negara, dari pelabuhan hingga ke depan pintu rumah mereka.

SUARA AJATAPPARENG menyerukan agar Pemkot Parepare dan pemerintah daerah pengirim PMI bangkit dari apatisme. Ini bukan sekadar isu sosial, ini adalah tanggung jawab konstitusional. Jangan biarkan mereka yang sudah jatuh, dipaksa berjalan sendiri lagi.

PMI bukan beban. Mereka adalah bukti bahwa rakyat rela berkorban demi bertahan. Tapi ketika mereka pulang dalam luka, bisakah kita tetap menutup mata? (AD)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini